Monday, October 13, 2014

MENELANJANGI SENI TARI

MENELANJANGI SENI TARI

Dilemma atau krisisnya pemahanan seni yang sudah ada sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia? Sejak zaman Hindu di wilayah Indonesia-Jawa. Lalu masuknya agama Islam di tanah Jawa. Saya tidak akan berdalil kapan datangnya agama Islam di Indonesia karena ilmu sejarah saya di bawah garis rata-rata.

Namun di sini saya akan menyampaikan sebuah pemahaman yang selama ini banyak orang nilai ‘miris’ melihat kaum hawa berjilbab. Setelah keluar banyak istilah seperti ‘jilboobs’ dan sebagainya. Lalu hubungannya dengan seni pentas, misalnya tari dan drama? Dan bagaimana juga anak yang lahir dari orangtuanya dahulu juga seorang seniman wayang orang. Sedikit pasti mengalir darah seni secara langsung dalam jiwa anaknya.

Muncul pertanyaan-pertanyaan miring tentang kaum hawa yang sebenarnya memiliki bakat tersebut. Bahkan di sekolah-sekolah Indonesia masih tercantum kurikulum kesenian dan kebudayaan. Kerap dan bahkan muncul kata ‘diskriminasi’ bila terjadi larangan bagi wanita berjilbab untuk aktif berseni.

Hubungan Jilbab dan Seni:
Menurut pandangan saya selaku aktifis TKW-Singapura berseni dan berkreasi tidak perlu ada unsur pembeda dalam berkarya baik wanita berjilbab maupun yang tidak. Sebagai keturunan adat Jawa yang banyak sekali khasanan kesenian tari dan masuknya agama Islam di wilayah Jawa-Indonesia ini bukan untuk melunturkan jiwa seni anak-anak Indonesia. Memang agama adalah tonggak keyakinan manusia sejak zaman Nabi Adam AS diciptakan lalu diciptakan oleh Allah SWT Siti Hawa untuk menemani Nabi Adam AS. Lalu apa yang terjadi pada Nabi Adam dan Siti Hawa akhirnya diusir dari Surga oleh Allah SWT? Tentu bagi umat Islam sudah mengetahuinya.

Lalu pantaskah kaum wanita sebagai pembujuk dan perayu lelaki sehingga sangat fragile dan harus dijaga dari pandangan dunia. Hingga memakailah burka sebagai penutup wajah. Lantas ini sunnah atau wajib hukumnya? Dalam Al-Quran ada ayatnya yang bisa menjadi panduan umat muslimah semuanya.

Kembali lagi ke seni.
Apakah sekarang ini seni sudah ditelanjangi oleh kaum berjilbab? Pewayangan orang pemain perempuan memakai jilbab/penari yang memakai jilbab atau tidak berjilbab pun namun memakai dalaman baju lengan panjang? Opini-opini sangat banyak di otak saya ini. Namun tidak perlu saya berbicara panjang lebar.

“Kaum berjilbab tidak usah ikut-ikutan menarilah? Kalau mau menari lepas jilbabnya. Mana ada tarian Jawa memakai jilbab harusnya kan pakai sanggul dan kebaya?”

“Kenapa merusak jilbab dengan melenggok-lenggokkan tubuhnya di depan orang? Baiknya tata dahulu hatinya untuk berjilbab?”

Kalau muncul pertanyaan-pertanyaan seperti di atas apa yang ada di benak pikiran Anda? Miris bukan? Masuknya agama Islam ke Indonesia bukanlah semata-mata untuk menghapus budaya-budaya kesenian Indonesia. Bukannya menggurui dalam soal jilbab dan berseni; selagi masih ada batas kewajaran bagi saya tidak masalah.  

Sedih dan pastinya asing bila terjadi diskriminasi sebagai individu. Namun hakikatnya kita ucapkan banyak terimakasih kepada orang-orang yang menilai orang berjilbab ‘miris’ dalam berseni kreasi seni. Semoga suatu saat kita manusia terlepas dari su’udzon dunia.

BERJILBAB BUKAN UNTUK MENELANJANGI SENI DAN SENI TIDAK MELARANG UNTUK BERJILBAB! Sesuai pada batas kewajarannya.

[]

Singapura, 13/10/2014

 
FOTO: Zahira Hassan 
Foto: Anung 

Foto: Chichie Arra

Foto: FAST 

Foto: FAST

Foto: Anung 
Foto: Anung 

Thursday, October 9, 2014

Flash True Story-UNCLE BANGLA-By: Zahira Hassan

Uncle Bangla
Oleh: Zahira Hassan (Flash True Story)

Tiba-tiba HP-ku bergetar di dalam saku celanaku.
“Hi, Zahira, I put some food four your dinner tonight in the rubbish bin.”
Ternyata SMS dari Uncle Supra teman baikku.

Hemm …, sekelibat aku teringat akan kenangan dulu. Uncle Supra yang bau badannya menyengat dan kulitnya hitam legam. Namun dengan kebaikan hatinya—aku merasa bersyukur, Tuhan telah mengirim dia untuk menjadi teman baikku.

Dulu, aku merupakan salah satu TKW yang kurang beruntung. Bahkan untuk menyambung hidup aku terpaksa hampir setiap hari mengais sisa-sisa makanan bekas majikan untuk mengganjal perutku.

Hingga pada suatu hari tidak ada orang yang bisa kumintai pertolongan. Di depan rumah majikan kulihat ada seorang lelaki berwarga Bangla yang bekerja di dekat rumah majikan. Karena sangat lapar aku meminta sedikit makanan darinya. Sejak itulah Uncle Supra mengerti kondisiku bekerja yang kurang beruntung dari segi makanan.

Dan sejak pertemananku dengan Uncle Supra—setiap harinya dia sering menaruh makanan yang dibungkus plastik dan meletakkannya di dekat tempat sampah. Aku juga sering meminta tolong padanya untuk membelikanku roti dengan cara yang sama—menaruh uangnya di dekat tempat sampah.

Mungkin ada yang tidak percaya dengan pengalaman kerjaku dahulu. Tapi itulah kenyataan yang kualami. Uncle Supra berbeda dengan lelaki Bangla lainnya yang kadang memberi harus memberi imbalan balik pula—dan kadang imbalan seksual.

Sejak aku pindah majikan, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Uncle Supra. Di manapun saat ini berada semoga Tuhan selalu melindungi Uncle Supra. Semoga suatu hari nanti aku bisa bertemu lagi dengan Uncle Supra dan melihat kondisi kerjaku yang tidak terkungkung seperti dahulu.

Serangoon, Oktober 2012

[]
foto: By Ilustrations